Sabtu, 20 Oktober 2012

Busana Tradisional Bolaang Mongondow



Pakaian adat (Salu)

Busana adat tradisional daerah Bolaang Mongondow, sangat erat kaitannya dengan latar belakang kehidupan masyarakat pada masa lalu. Secara historis wilayah ini terbentuk dari penggabungan empat kerajaan yang hidup pada masa penjajahan Belanda. Keempat kerajaan tersebut terdiri atas Kerajaan Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Bintauna, dan Kerajaan Kaidipang Besar. Struktur masyarakat dengan kehidupan bernuansa kerajaan pada waktu itu, melahirkan stratifikasi sosial yang tegas. Masyarakat terbagi ke dalam beberapa lapisan sosial, mulai dari golongan rakyat biasa hingga kaum bangsawan yang menempati kedudukan paling tinggi di dalam masyarakat.

Aktualisasi dari semua itu, tampak jelas antara lain pada busana warga masyarakat daerah Bolaang Mongondow yang dikenakan pada kesempatan-kesempatan tertentu, atau yang kini lebih dikenal sebagai busana adat tradisional mereka. Pada masa itu, ketentuan adat mengatur setiap anggota masyarakat agar menggunakan busana sesuai dengan kedudukan nya. Oleh karena itu, tidaklah heran bila busana adat mereka relatif lebih banyak karena setiap lapisan masyarakat memiliki busana tersendiri.





Busana yang pada umumnya dikenakan oleh kaum bangsawan terlihat lebih beragam bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan kegiatan sosial mereka yang sarat dengan acaraacara seremonial, yang berhubungan dengan kegiatan kerajaan maupun yang berkaitan dengan upacara di seputar lingkaran hidup mereka. Beberapa contoh di antaranya adalah busana kebesaran raja atau busana yang dipakai oleh golongan bangsawan pada saat berlangsung upacara penobatan raja, menerima tamu-tamu kerajaan, menghadiri undangan-undangan resmi, atau busana yang khusus digunakan untuk bekerja; busana bayi; busana pengantin, pengantin wanita maupun pengantin pria; dan busana yang dikenakan pada saat upacara kehamilan dan kematian.

Sementara itu, ada beberapa contoh busana adat lainnya yang dipakai oleh mereka yang berasal dari golongan di luar bangsawan. Misalnya, busana kohongian, yakni busana yang pada masa itu dikenakan oleh anggota masyarakat yang menempati status sosial satu tingkat di bawah kaum bangsawan, tepatnya digunakan pada upacara perkawinan; busana simpal, yaitu busana yang khusus digunakan oleh warga masyarakat yang termasuk ke dalam golongan pendamping pemerintah dalam kerajaan. Sama halnya dengan busana kohongian, busana simpal pun dikenakan pada upacara perkawinan; Busana kerja guha-ngea, yaitu busana kerja para pemangku adat yang dipakai pada saat berlangsung upacara-upacara kerajaan. Selain itu, ada juga busana rakyat biasa yang kerapkali tampak pada saat melakukan panen padi.

Melihat wujud busana adat tradsional daerah Bolaang Mongondow, tampak pengaruh Melayu begitu kental dan dominan mewarnai tampilannya. Pada umumnya, busana yang dikenakan oleh kaum wanita terdiri atas kain dan kebaya atau salu, sedangkan busana kaum prianya meliputi ikat kepala atau mangilenso, baju atau baniang, celana dan sarung tenun. Secara umum, busana adat yang dikenakan oleh kaum bangsawan maupun golongan masyarakat lainnya tampak serupa. Akan tetapi, ada bagian busana yang dapat membedakan kedudukan seseorang. Hal tersebut terletak pada detil pakaian, kelengkapan aksesori yang menempel pada tubuh, serta kualitas bahan yang digunakan.

Dalam hal ini, busana adat tradisional kaum bangsawan tampil dengan satu citra tersendiri. Detil yang tampak pada busana mereka memang lebih banyak bila dibandingkan dengan busana dari kelompok masyarakt lainnya. Sama pula halnya dengan aksesorinya yang demikian lengkap. Keberanian dalam memilih warna-warna busana yang terang dan mencolok seperti merah, ungu, kuning, keemaasan, dan hijau dipadu dengan aksesori yang terbuat dari emas, serta kualitas bahan yang paling baik, tidak diragukan lagi melahirkan satu sosok busana yang cukup indah dan menawan. Salah satunya tampak pada busana kebesaran raja berikut busana pengantinnya. Kekhasan lain yang tampak istimewa terletak pada ikat kepala pria yang menjulang tinggi, seakan ingin mengukuhkan kedudukan mereka yang menempati tingkatan sosial tertinggi. Selain busana kebesaran seperti itu, para bangsawan pun memiliki busana kedukaan, yakni busana berwarna hitam yang dikenakan pada waktu menghadiri upacara kematian. Dalam hal ini, pemilihan warna sangat dominan untuk mengekspresikan emosi mereka pada saat-saat seperti itu. Di samping itu, juga ada larangan untuk mengenakan berbagai perhiasan jenis apa pun.

Adapun busana yang biasa dikenakan oleh anggota masyarakat di luar golongan bangsawan, tentu saja tampilannya berbeda dengan busana milik para bangsawan. Semakin rendah status seseorang di dalam tingkatan sosial masyarakatnya, semakin sederhana pula busana yang mereka miliki. Kesederhanaan tersebut tampak dari kulitas bahan yang dipakai, detil busana, serta aksesorinya. Khusus mengenai perhiasan, mereka yang termasuk ke dalam lapisan kohongian atau golongan simpal tidak mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas melainkan perhiasan perak. Bahkan akan jauh lebih sederhana lagi pada busana adat yang boleh dikenakan oleh rakyat biasa. Dalam hal ikat kepala pria misalnya, ketinggian ikat kepala akan lebih rendah daripada ikat kepala yang dipakai oleh kaum bangsawan.

Meskipun saat ini pemahaman warga masyarakat Bolaang Mongondow terhadap fungsi busana adat tradisional mereka tidak setegas dahulu, informasi di balik keberadaan busana tersebut memang selayaknya tidak sirna. Pemilihan dan penentuan unsur berikut kelengkapan busana adat tradisional daerah tersebut, memang tidak terlepas dari simbolisasi sebuah makna yang ingin disampaikan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem religi, atau bahkan berhubungan erat dengan sejumlah fenomena sosial pada masa itu.


Sumber: Ria Andayani Somantri

0 komentar:

Posting Komentar

Totabuanku © 2008 Template by:
SkinCorner